[Enter Post Title
Here]
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
19 TAHUN 2008
TENTANG
SURAT
BERHARGA SYARIAH NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa strategi dan kebijakan pembangunan nasional
untuk mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera serta untuk memulihkan
sektor ekonomi, perlu disertai dengan upaya pengelolaan keuangan negara secara
optimal melalui peningkatan efisiensi dalam pengelolaan barang milik negara dan
sumber pembiayaan anggaran negara;
b.
bahwa dalam rangka pengelolaan keuangan negara
untuk meningkatkan daya dukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam
menggerakkan perekonomian nasional secara berkesinambungan, diperlukan
pengembangan berbagai instrumen keuangan yang mampu memobilisasi dana publik
secara luas dengan memperhatikan nilai-nilai ekonomi, sosial dan budaya yang
berkembang dalam masyarakat;
c.
bahwa potensi sumber pembiayaan pembangunan
nasional yang menggunakan instrumen keuangan berbasis syariah yang memiliki
peluang besar belum dimanfaatkan secara optimal;
d.
bahwa sektor ekonomi dan keuangan syariah perlu
ditumbuhkembangkan melalui pengembangan instrumen keuangan syariah sebagai
bagian dari sistem perekonomian nasional dalam rangka peningkatan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
e.
bahwa instrumen keuangan berdasarkan prinsip
syariah mempunyai karakteristik yang berbeda dengan instrumen keuangan
konvensional, sehingga perlu pengelolaan dan pengaturan secara khusus, baik
yang menyangkut instrumen maupun perangkat hukum yang diperlukan;
f.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk
Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara.
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 20A ayat (1), Pasal 23, dan Pasal 23C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat
SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan
terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
2.
Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang
didirikan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini untuk melaksanakan kegiatan
penerbitan SBSN.
3.
Aset SBSN adalah objek pembiayaan SBSN dan/ atau
Barang Milik Negara yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau
bangunan maupun selain tanah dan/atau bangunan, yang dalam rangka penerbitan
SBSN dijadikan sebagai dasar penerbitan SBSN,
4.
Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli
atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal
dari perolehan lainnya yang sah.
5.
Akad adalah perjanjian tertulis yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6.
Ijarah adalah Akad yang satu pihak bertindak
sendiri atau melalui wakilnya menyewakan hak atas suatu aset kepada pihak lain
berdasarkan harga sewa dan periode sewa yang disepakati.
7.
Mudarabah adalah Akad kerja sama antara dua pihak
atau lebih, yaitu satu pihak sebagai penyedia modal dan pihak lain sebagai
penyedia tenaga dan keahlian, keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi
berdasarkan nisbah yang telah disetujui sebelumnya, sedangkan kerugian yang
terjadi akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyedia modal, kecuali kerugian
disebabkan oleh kelalaian penyedia tenaga dan keahlian.
8.
Musyarakah adalah Akad kerja sama antara dua pihak
atau lebih untuk menggabungkan modal, baik dalam bentuk uang maupun bentuk
lainnya, dengan tujuan memperoleh keuntungan, yang akan dibagikan sesuai dengan
nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian yang timbul akan
ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.
9.
Istishna'
adalah Akad jual beli aset berupa obyek pembiayaan antara para pihak dimana
spesifikasi, cara dan jangka waktu penyerahan, serta harga aset tersebut
ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.
10.
Imbalan adalah pembayaran yang dapat berupa sewa,
bagi hasil atau margin, atau bentuk pembayaran lainnya sesuai dengan Akad penerbitan
SBSN, yang diberikan kepada pemegang SBSN sampai dengan berakhirnya periode
SBSN.
11.
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat Republik
Indonesia.
12.
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
13.
Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan
penjualan SBSN baik di dalam maupun di luar negeri untuk pertama kalinya.
14.
Pasar Sekunder adalah kegiatan perdagangan SBSN
yang telah dijual di Pasar Perdana baik di dalam maupun di luar negeri.
15.
Nilai Nominal adalah nilai SBSN yang tercantum
dalam sertifikat SBSN,
16.
Hak Manfaat adalah hak untuk memiliki dan
mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan
pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut.
17.
Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan
pemegang SBSN sesuai dengan yang diperjanjikan.
18.
Nilai Bersih Maksimal Surat Berharga Negara adalah
tambahan atas jumlah Surat Berharga Negara yang telah beredar dalam satu tahun
anggaran, yang merupakan selisih antara jumlah Surat Berharga Negara yang akan
diterbitkan dengan jumlah Surat Berharga Negara yang jatuh tempo dan/atau yang
dibeli kembali oleh Pemerintah.
19.
Surat Utang Negara adalah surat berharga yang
berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang
dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai
dengan masa berlakunya.
20.
Surat Berharga Negara adalah Surat Utang Negara dan
SBSN.
21.
Setiap Orang adalah orang perseorangan atau
Korporasi.
22.
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
BAB
II
BENTUK
DAN JENIS SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pasal
2
(1)
SBSN diterbitkan dalam bentuk warkat atau tanpa
warkat.
(2)
SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diperdagangkan atau tidak diperdagangkan di Pasar Sekunder.
Pasal
3
SBSN dapat berupa:
a.
SBSN Ijarah, yang diterbitkan berdasarkan Akad
Ijarah;
b.
SBSN Mudarabah, yang diterbitkan berdasarkan Akad
Mudarabah;
c.
SBSN Musyarakah, yang diterbitkan berdasarkan Akad
Musyarakah;
d.
SBSN Istishna',
yang diterbitkan berdasarkan Akad Istishna;
e.
SBSN yang diterbitkan berdasarkan Akad lainnya
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan
f.
SBSN yang diterbitkan berdasarkan kombinasi dari
dua atau lebih dari Akad sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf
e.
BAB
III
TUJUAN
PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pasal
4
SBSN diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek.
BAB
IV
KEWENANGAN
DAN PELAKSANAAN PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pasal
5
(1)
Kewenangan menerbitkan SBSN untuk tujuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 berada pada Pemerintah.
(2)
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri.
Pasal
6
(1)
Penerbitan SBSN dapat dilaksanakan secara langsung
oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
(2)
SBSN yang dapat diterbitkan baik oleh Pemerintah
maupun Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah semua
jenis SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3)
Penerbitan SBSN yang dilakukan melalui Perusahaan
Penerbit SBSN ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
7
(1)
Dalam hal akan dilakukan penerbitan SBSN untuk
tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Menteri terlebih dahulu
berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
(2)
Khusus untuk penerbitan SBSN dalam rangka pembiayaan
proyek, Menteri berkoordinasi dengan menteri yang bertanggung jawab di bidang
perencanaan pembangunan nasional.
Pasal
8
(1)
Penerbitan SBSN harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat pada saat pengesahan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara yang diperhitungkan sebagai bagian dari Nilai Bersih
Maksimal Surat Berharga Negara yang akan diterbitkan oleh Pemerintah dalam satu
tahun anggaran.
(2)
Menteri berwenang menetapkan komposisi Surat
Berharga Negara dalam rupiah maupun valuta asing, serta menetapkan komposisi
Surat Berharga Negara dalam bentuk Surat Utang Negara maupun SBSN dan hal-hal
lain yang diperlukan untuk menjamin penerbitan Surat Berharga Negara secara
hati-hati.
(3)
Dalam hal-hal tertentu, SBSN dapat diterbitkan
melebihi Nilai Bersih Maksimal yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang selanjutnya dilaporkan sebagai
Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau disampaikan dalam
Laporan Realisasi Anggaran tahun yang bersangkutan.
Pasal
9
(1)
Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) termasuk pembayaran semua kewajiban Imbalan dan
Nilai Nominal yang timbul sebagai akibat penerbitan SBSN dimaksud serta Barang
Milik Negara yang akan dijadikan sebagai Aset SBSN.
(2)
Pemerintah wajib membayar Imbalan dan Nilai Nominal
setiap SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun
Perusahaan Penerbit SBSN, sesuai dengan ketentuan dalam Akad penerbitan SBSN.
(3)
Dana untuk membayar Imbalan dan Nilai Nominal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.
(4)
Dalam hal pembayaran kewajiban Imbalan dan Nilai
Nominal dimaksud melebihi perkiraan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Pemerintah melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut
kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara.
(5)
Semua kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) dilakukan secara transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
BAB
V
PENGGUNAAN
BARANG MILIK NEGARA DALAM RANGKA PENERBITAN SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pasal
10
(1)
Barang Milik Negara dapat digunakan sebagai dasar
penerbitan SBSN, yang untuk selanjutnya Barang Milik Negara dimaksud disebut
sebagai Aset SBSN.
(2)
Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a.
tanah dan/atau bangunan; dan
b.
selain tanah dan/atau bangunan.
(3)
Jenis, nilai, dan spesifikasi Barang Milik Negara
yang akan digunakan sebagai Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
11
(1)
Penggunaan Barang Milik Negara sebagai Aset SBSN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dilakukan Menteri dengan cara
menjual atau menyewakan Hak Manfaat atas Barang Milik Negara atau cara lain
yang sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan SBSN.
(2)
Aset SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
disewa kembali oleh Menteri berdasarkan suatu Akad.
(3)
Dalam hal Barang Milik Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) sedang digunakan oleh instansi Pemerintah dan akan
digunakan sebagai Aset SBSN, Menteri terlebih dahulu memberitahukan kepada
instansi Pemerintah pengguna Barang Milik Negara.
(4)
Jangka waktu penyewaan Aset SBSN oleh Pemerintah
kepada Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
paling lama 60 (enam puluh) tahun.
Pasal
12
(1)
Menteri wajib membeli kembali Aset SBSN,
membatalkan Akad sewa, dan mengakhiri Akad penerbitan SBSN lainnya pada saat
SBSN jatuh tempo.
(2)
Dalam rangka pembelian kembali Aset SBSN,
pembatalan Akad sewa dan pengakhiran Akad penerbitan SBSN lainnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri membayar nilai nominal SBSN atau kewajiban
pembayaran lain sesuai Akad penerbitan SBSN kepada pemegang SBSN.
BAB
VI
PERUSAHAAN
PENERBIT SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA DAN WALI AMANAT
Pasal
13
(1)
Dalam rangka penerbitan SBSN, Pemerintah dapat
mendirikan Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1).
(2)
Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan badan hukum yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini.
(3)
Perusahaan Penerbit SBSN sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah badan hukum yang berkedudukan di dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia.
(4)
Perusahaan Penerbit SBSN bertanggung jawab kepada
Menteri.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian, organ,
permodalan, fungsi, dan pertanggungjawaban Perusahaan Penerbit SBSN diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
14
(1)
Menteri menunjuk langsung pihak lain sebagai Wali
Amanat, dalam hal SBSN diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah.
(2)
Perusahaan Penerbit SBSN bertindak sebagai Wali
Amanat bagi pemegang SBSN, dalam hal SBSN diterbitkan oleh Perusahaan Penerbit
SBSN.
(3)
Perusahaan Penerbit SBSN dapat menunjuk pihak lain
dengan persetujuan Menteri untuk membantu melaksanakan fungsi Wali Amanat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal
15
Wali Amanat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
memiliki tugas, antara lain:
a.
melakukan perikatan dengan pihak lain untuk
kepentingan pemegang SBSN;
b.
mengawasi aset SBSN untuk kepentingan pemegang
SBSN; dan
c.
mewakili kepentingan lain pemegang SBSN, terkait
dengan perikatan dalam rangka penerbitan SBSN.
Pasal
16
Perusahaan Penerbit SBSN dan pihak lain yang
ditunjuk sebagai Wali Amanat wajib memisahkan Aset SBSN dari kekayaan
perusahaan untuk kepentingan pemegang SBSN.
Pasal
17
Dalam melaksanakan fungsi sebagai Wali Amanat,
Perusahaan Penerbit SBSN harus menjaga kepentingan pemegang SBSN.
BAB
VII
PENGELOLAAN
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pasal
18
(1)
Pengelolaan SBSN baik yang diterbitkan secara
langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN diselenggarakan oleh Menteri.
(2)
Pengelolaan SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), antara lain, meliputi:
a.
penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan SBSN termasuk
kebijakan pengendalian risiko;
b.
perencanaan dan penetapan struktur portofolio SBSN;
c.
penerbitan SBSN;
d.
penjualan SBSN melalui lelang dan/atau tanpa
lelang;
e.
pembelian kembali SBSN sebelum jatuh tempo;
f.
pelunasan SBSN; dan
g.
aktivitas lain dalam rangka pengembangan Pasar
Perdana dan Pasar Sekunder SBSN.
(3)
Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan bagian dari pengelolaan Surat Berharga Negara secara keseluruhan.
Pasal
19
(1)
Dalam rangka mendukung penyelenggaraan pengelolaan
SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Menteri membuka rekening yang
merupakan bagian dari Rekening Kas Umum Negara.
(2)
Tata cara pembukaan dan pengelolaan rekening
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
20
SBSN wajib mencantumkan ketentuan dan syarat yang
mengatur, antara lain, mengenai:
a.
penerbit;
b.
Nilai Nominal;
c.
tanggal penerbitan;
d.
tanggal jatuh tempo;
e.
tanggal pembayaran Imbalan;
f.
besaran atau nisbah Imbalan;
g.
frekuensi pembayaran Imbalan;
h.
cara perhitungan pembayaran Imbalan;
i.
jenis mata uang atau denominasi;
j.
jenis Barang Milik Negara yang dijadikan Aset SBSN;
k.
penggunaan ketentuan hukum yang berlaku;
l.
ketentuan tentang hak untuk membeli kembali SBSN
sebelum jatuh tempo; dan
m.
ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.
Pasal
21
(1)
Dalam hal SBSN diterbitkan di dalam negeri, Menteri
menunjuk Bank Indonesia sebagai agen penata usaha untuk melaksanakan kegiatan
penatausahaan yang mencakup antara lain kegiatan pencatatan kepemilikan,
kliring, dan setelmen SBSN, baik dalam hal SBSN diterbitkan secara langsung
oleh Pemerintah maupun yang diterbitkan melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
(2)
Menteri dapat meminta Bank Indonesia untuk menunjuk
pihak lain sebagai agen penata usaha untuk melaksanakan kegiatan penatausahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Dalam hal SBSN diterbitkan di luar negeri, Menteri
menunjuk Bank Indonesia atau pihak lain sebagai agen penata usaha untuk
melaksanakan kegiatan penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)
Dalam menyelenggarakan kegiatan penatausahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia atau pihak lain yang
ditunjuk wajib membuat laporan pertanggungjawaban kepada Pemerintah.
Pasal
22
(1)
Menteri menunjuk Bank Indonesia atau pihak lain
sebagai agen pembayar, baik dalam hal SBSN diterbitkan secara langsung oleh
Pemerintah maupun yang diterbitkan melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
(2)
Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai agen
pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan terlebih dahulu
berkoordinasi dengan Bank Indonesia,
(3)
Kegiatan agen pembayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), antara lain, meliputi:
a.
menerima Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN dari
pemerintah; dan
b.
membayarkan Imbalan dan/atau Nilai Nominal SBSN
sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada pemegang SBSN.
Pasal
23
Menteri dapat menunjuk Bank Indonesia sebagai agen
lelang SBSN, baik yang diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah maupun
melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
Pasal
24
Menteri menetapkan ketentuan mengenai penerbitan
dan penjualan SBSN dengan Peraturan Menteri.
Pasal
25
Dalam rangka penerbitan SBSN, Menteri meminta fatwa
atau pernyataan kesesuaian SBSN terhadap prinsip-prinsip syariah dari lembaga
yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Pasal
26
Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan
SBSN dilakukan oleh otoritas yang melakukan pengaturan dan pengawasan di bidang
pasar modal.
BAB
VIII
AKUNTABILITAS
DAN TRANSPARANSI
Pasal
27
(1)
Menteri wajib menyelenggarakan penatausahaan dan
membuat pertanggungjawaban atas pengelolaan SBSN.
(2)
Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) disampaikan sebagai bagian dari pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang bersangkutan.
Pasal
28
Menteri wajib secara berkala memublikasikan
informasi tentang:
a.
kebijakan pengelolaan SBSN dan rencana penerbitan
SBSN yang meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu penerbitan; dan
b.
jumlah SBSN yang beredar beserta komposisinya,
termasuk jenis valuta, struktur jatuh tempo, dan besaran imbalan.
Pasal
29
Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsinya,
otoritas yang melakukan pengaturan dan pengawasan di bidang pasar modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 berwenang memperoleh data dan informasi
mengenai SBSN secara langsung dari Bank Indonesia atau pihak lain yang ditunjuk
sebagai agen penata usaha SBSN.
BAB
IX
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
30
(1)
Setiap Orang yang meniru, membuat palsu, atau
memalsukan SBSN dengan maksud memperdagangkan SBSN tiruan, palsu, atau
dipalsukan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah).
(2)
Setiap Orang dengan sengaja tanpa wewenang
menerbitkan SBSN berdasarkan Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling
banyak Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah).
Pasal
31
(1)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 dilakukan oleh Korporasi maka tuntutan pidana ditujukan kepada:
a.
Korporasi; dan/atau
b.
orang yang melakukan atau memberikan perintah baik
sendiri atau bersama-sama untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang
bertindak sebagai pimpinan atau melalaikan pencegahannya.
(2)
Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap
Korporasi, pidana pokok yang dijatuhkan hanya berupa pidana denda yang besarnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) atau ayat (2) ditambah 1/3 (satu
pertiga) dari pidana denda dimaksud.
(3)
Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usahanya.
BAB
X
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
32
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
19 TAHUN 2008
TENTANG
SURAT
BERHARGA SYARIAH NEGARA
I.
UMUM
Keberhasilan pelaksanaan program pembangunan
nasional dalam mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 perlu disertai dengan, antara lain, upaya pengelolaan keuangan negara
secara optimal. Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan efisiensi dalam
pengelolaan aset negara dan pengembangan sumber pembiayaan anggaran negara,
guna meningkatkan daya dukung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dalam
menggerakkan pembangunan sektor ekonomi secara berkesinambungan.
Pengembangan berbagai alternatif instrumen
pembiayaan anggaran negara, khususnya instrumen pembiayaan yang berdasarkan
prinsip syariah guna memobilisasi dana publik secara luas perlu segera
dilaksanakan. Instrumen keuangan yang akan diterbitkan harus sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah, memberikan kepastian hukum, transparan, dan akuntabel.
Upaya pengembangan instrumen pembiayaan berdasarkan prinsip syariah tersebut,
antara lain, bertujuan untuk: (1) memperkuat dan meningkatkan peran sistem
keuangan berbasis syariah di dalam negeri; (2) memperluas basis pembiayaan
anggaran negara; (3) menciptakan benchmark
instrumen keuangan syariah baik di pasar keuangan syariah domestik maupun
internasional; (4) memperluas dan mendiversifikasi basis investor; (5)
mengembangkan alternatif instrumen investasi baik bagi investor dalam negeri
maupun luar negeri yang mencari instrumen keuangan berbasis syariah; dan (6)
mendorong pertumbuhan pasar keuangan syariah di Indonesia.
Konsep keuangan Islam didasarkan pada prinsip
moralitas dan keadilan. Oleh karena itu, sesuai dengan dasar operasionalnya
yakni syariah Islam yang bersumber dari Al Qur'an dan Hadist serta Ijma
instrumen pembiayaan syariah harus selaras dan memenuhi prinsip syariah, yaitu
antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil,
halal, thayyib, dan maslahat. Selain
itu, transaksi dalam, keuangan Islam sesuai dengan syariah harus terbebas dari
unsur larangan berikut: (1) Riba,
yaitu unsur bunga atau return yang
diperoleh dari penggunaan uang untuk mendapatkan uang (money for money); (2) Maysir,
yaitu unsur spekulasi, judi, dan sikap untung-untungan; dan (3) Gharar, yaitu unsur ketidakpastian yang
antara lain terkait dengan penyerahan kualitas, kuantitas, dan sebagainya.
Karakteristik lain dari penerbitan instrumen keuangan syariah yaitu memerlukan
adanya transaksi pendukung (underlying
transaction), yang tata cara dan mekanismenya bersifat khusus dan berbeda
dengan transaksi keuangan pada umumnya. Oleh karena itu, mengingat instrumen
keuangan berdasarkan prinsip syariah sangat berbeda dengan instrumen keuangan
konvensional, untuk keperluan penerbitan instrumen pembiayaan syariah tersebut
perlu adanya pengaturan secara khusus, baik yang menyangkut instrumen maupun
perangkat yang diperlukan.
Salah satu bentuk instrumen keuangan syariah yang
telah banyak diterbitkan baik oleh Korporasi maupun negara adalah surat
berharga berdasarkan prinsip syariah, atau secara internasional dikenal dengan
istilah Sukuk. Instrumen keuangan
syariah ini berbeda dengan surat berharga konvensional. Perbedaan yang prinsip
antara lain surat berharga berdasarkan prinsip syariah menggunakan konsep
Imbalan bukan bunga sebagaimana dikenal dalam instrumen keuangan konvensional
dan diperlukannya sejumlah tertentu aset yang digunakan sebagai dasar untuk
melakukan transaksi dengan menggunakan Akad berdasarkan prinsip syariah.
Metode atau struktur pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah pada dasarnya mengikuti Akad yang digunakan dalam melakukan transaksi.
Beberapa jenis Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan surat berharga
syariah, antara lain, meliputi Ijarah, Mudarabah, Musyarakah, Istishna', dan Akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah, serta kombinasi dari dua atau lebih dari
Akad tersebut.
Sejalan dengan semakin meluasnya penggunaan prinsip
syariah di pasar keuangan dalam dan luar negeri, yang ditandai dengan semakin
banyaknya negara yang menerbitkan instrumen pembiayaan berbasis syariah dan
semakin meningkatnya jumlah investor dalam instrumen keuangan syariah,
Indonesia perlu memanfaatkan momentum melalui penerbitan SBSN baik di pasar
domestik maupun di pasar internasional sebagai alternatif sumber pembiayaan. Hal
tersebut sejalan dengan semakin terbatasnya daya dukung Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara untuk menggerakkan pembangunan sektor ekonomi secara
berkesinambungan dan belum optimalnya pemanfaatan instrumen pembiayaan lainnya.
Dengan bertambahnya instrumen Surat. Berharga Negara yang terdiri dari Surat
Utang Negara dan SBSN, diharapkan kemampuan Pemerintah dalam pengelolaan
anggaran negara terutama dari sisi pembiayaan akan semakin meningkat. Selain
itu, adanya SBSN akan dapat memenuhi kebutuhan portofolio investasi lembaga
keuangan syariah antara lain perbankan syariah, reksadana syariah, dan asuransi
syariah. Dengan bertambahnya jumlah instrumen keuangan berdasarkan prinsip
syariah, diharapkan akan mendorong pertumbuhan lembaga keuangan syariah di
dalam negeri. Sejalan dengan itu, dalam rangka memberikan dasar hukum
penerbitan instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah dan untuk mendukung
perkembangan pasar keuangan syariah khususnya di dalam negeri, perlu dilakukan
penyusunan Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara, yang mengatur
secara khusus mengenai penerbitan dan pengelolaan SBSN.
SBSN ini merupakan surat berharga dalam mata uang
rupiah maupun valuta asing berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh
Negara Republik Indonesia, baik dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah
atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN, sebagai bukti atas bagian penyertaan
terhadap Aset SBSN, serta wajib dibayar atau dijamin pembayaran Imbalan dan
Nilai Nominalnya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan
perjanjian yang mengatur penerbitan SBSN tersebut.
Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara
ini secara garis besar mengatur hal-hal sebagai berikut:
a.
transparansi pengelolaan SBSN dalam kerangka
kebijakan fiskal dan kebijakan pengembangan pasar SBSN dengan mengatur lebih
lanjut tujuan penerbitannya dan jenis Akad yang digunakan;
b.
kewenangan Pemerintah untuk menerbitkan SBSN, baik
dilakukan secara langsung oleh Pemerintah yang didelegasikan kepada Menteri,
ataupun dilaksanakan melalui Perusahaan Penerbit SBSN;
c.
kewenangan Pemerintah untuk menggunakan Barang
Milik Negara sebagai dasar penerbitan SBSN (underlying
asset);
d.
kewenangan Pemerintah untuk mendirikan dan
menetapkan tugas badan hukum yang akan melaksanakan fungsi sebagai Perusahaan
Penerbit SBSN;
e.
kewenangan Wali Amanat untuk bertindak mewakili
kepentingan Pemegang SBSN;
f.
kewenangan Pemerintah untuk membayar semua
kewajiban yang timbul dari penerbitan SBSN, baik yang diterbitkan secara
langsung oleh Pemerintah maupun melalui Perusahaan Penerbit SBSN, secara penuh
dan tepat waktu sampai berakhirnya kewajiban tersebut; dan
g.
landasan hukum bagi pengaturan lebih lanjut atas
tata cara dan mekanisme penerbitan SBSN di Pasar Perdana maupun perdagangan
SBSN di Pasar Sekunder agar pemodal memperoleh kepastian untuk memiliki dan
memperdagangkan SBSN secara mudah dan aman.